Covid-19 dan Pelajaran Berharga Untuk (Pemerintah) Kita

Covid-19 dan Pelajaran Berharga Untuk (Pemerintah) Kita

Oleh: Asri Tadda (Direktur Madising Foundation)

Gelombang kedua pandemi Covid-19 kini menyerang Indonesia, mencuri perhatian dunia internasional. Sebelum ini, India menjadi sentrum perhatian dengan lonjakan drastis insiden kasus positif dan tingginya angka kematian akibat Covid-19.

Apa yang kini terjadi di Indonesia sebenarnya bukan tidak diprediksi sebelumnya. Ketika varian Delta dari virus SAR-Cov2 tengah mengganas di India dan menyebabkan kolapsnya pelayanan kesehatan di sana, tidak sedikit ahli kesehatan, khususnya yang menekuni epidemiologi di tanah air mewanti-wanti pemerintah agar melakukan langkah antisipatif.

Demikian pula ketika di awal masa pandemi Covid-19. Sejak kasus positif Covid-19 pertama kali ditemukan di Indonesia di awal Maret 2020, kalangan ahli kesehatan sesungguhnya sudah mengkhawatirkan penyebaran infeksi Covid-19 yang akan masif di negeri ini. Sayangnya, respon pemerintah saat itu tidak sesuai ekspektasi publik.

Demi pertimbangan ekonomi, pemerintah abai terhadap warning dari epidemiolog untuk mulai membatasi arus orang, khususnya dari negara atau wiilayah dengan kasus Covid-19 yang masih tinggi. Di saat yang sama, sistem kesehatan kita tidak siap menghadapi pandemi. Bahkan dalam kondisi normal saja, pelayanan kesehatan di negeri ini juga memang belum optimal.

Salah satu kunci penting membatasi penularan virus, termasuk Covid-19 ini adalah dengan mengurangi pergerakan dan interaksi manusia yang menjadi inangnya.

Dengan mengurangi, membatasi atau menghentikan sama sekali kontak antar-manusia, virus akan berhenti hanya pada orang yang terinfeksi setelah melewati masa inkubasi. Inilah yang mendasari mengapa seruan lockdown ramai didengungkan oleh para ahli dan pemerhati kesehatan.

Hanya saja, kebijakan lockdown memang tidak sesederhana diucapkan. Ini terkait erat dengan bagaimana memastikan warga tidak kelaparan selama proses tersebut dilakukan dan bagaimana memastikan pelaku usaha tetap bisa bertahan meski tak ada omset.

Kebijakan lockdown memang perlu biaya yang besar. Namun sesungguhnya tidak akan sebesar biaya yang harus dikeluarkan jika pandemi berlangsung bertahun-tahun. Ini memang pilihan sulit, apalagi di tengah keterbatasan dana. Hanya bisa dilakukan oleh pemerintahan yang memiliki visi yang kuat, semata demi menyelamatkan rakyat.

Kini, semuanya begitu terlambat, jika tak bisa dikatakan gagal. Covid-19 sudah terlanjur menyebar secara massif ke setiap penjuru negeri, mengancam warga setiap saat jika lengah dan abai terhadap protokol kesehatan.

Rumah sakit menanggung beban pelayanan sangat berat di tengah keterbatasan sumber daya dan peralatan medis spesifik untuk pasien Covid-19. Angka kematian meningkat, kemiskinan pun menggeliat. PHK di mana-mana, usaha-usaha kecil warga gulung tikar, tak mampu bertahan lagi.

Sungguh sebuah tragedi yang sesungguhnya bisa dicegah sejak awal. Tetapi apa lacur, semuanya sudah terjadi. Saat ini, jika pemerintah tak mau mendengarkan mereka yang menjadi ahli dalam penanganan pandemi, maka akan sulit menuntaskan perang asimetris ini.

Berjiwa besar untuk belajar dari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih dulu bebas atau mampu menekan laju penularan penyakit ini, juga merupakan hal yang mesti dilakukan. Melepaskan tendensi politik dan mengutamakan pendekatan ilmiah dalam meramu kebijakan melawan Covid-19 adalah keharusan jika ingin berhasil keluar dari akar masalah.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Tak banyak pilihan. Serahkan penanganan masalah pada ahlinya, pemerintah dukung penuh secara finansial. Tidak boleh ada yang merasa menjadi jagoan dan bisa sendirian atau bersama kelompoknya saja untuk melawan pandemi ini. Semua pihak harus bergerak seirama sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, dari hulu hingga ke hilir.

Secara teknis, penguatan kapasitas rumah sakit dan tenaga medis untuk merawat pasien positif Covid-19 adalah prioritas utama. Ini aspek kuratif di mana para dokter dan tenaga kesehatan menjadi gate keeper yang harus diandalkan. Jangan sampai ada masalah di sektor ini karena berhubungan langsung dengan keselamatan nyawa, baik pasien maupun para tenaga kesehatan. Ketersediaan obat-obatan perlengkapan, hingga soal insentif bagi tenaga kesehatan yang bertugas semestinya tidak boleh tertunda dengan alasan apapun.

Pada aspek promotif – preventif, pelibatan ahli dan tenaga kesehatan masyarakat adalah keniscayaan. Mereka harus meramu pendekatan epidemiologis untuk mencegah virus ini terus menyebar ke mana-mana. Tentunya dengan tetap memperhatikan aspek lokalitas di setiap daerah.

Yang tak kalah penting, pelibatan para ahli tersebut harus dilakukan secara formal-institusional, bukan secara personal. Gandeng pihak perguruan tinggi yang memiliki kapasitas dan sumber daya yang dibutuhkan. Hal ini perlu demi mendapatkan legitimasi di mata publik. Legitimasi yang baik tentu akan melahirkan kepatuhan sosial, sebuah syarat tercapainya tujuan dari program yang dilakukan.

Sungguh tak ada seorangpun yang mau menjadi korban dalam perang melawan pandemi Covid-19 ini.

Karena itu, tugas pemerintah adalah memadukan semua sumber daya yang ada, memastikan semua sektor bekerja optimal tanpa kendala, sembari membangun komunikasi yang efektif dan transparan kepada publik. Jangan justru terkesan menjadi oposisi terhadap rakyatnya sendiri. Dengan begitu, semua pihak akan merasa terpanggil dan ikut bertanggung jawab menuntaskan perjuangan besar ini. []

[Artikel ini juga sudah diterbitkan di sini]