Menkes dan Dirut BPJS yang ‘Kebangetan’

Menkes dan Dirut BPJS yang ‘Kebangetan’

Ditulis oleh : Dr. Chazali H.Situmorang, Apt, M.Sc. – Ketua DJSN 2011 – 2015

Hari ini 17 Oktober 2019 di forum Kongres Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Presiden Joko Widodo menegur Menteri Kesehatan Nila F Moeloek dan Direktur Utama BPJS Fahmi Idris. Jokowi heran karena ia harus turun tangan langsung untuk menyelesaikan defisit yang melanda BPJS Kesehatan. Padahal, menurut dia, masalah defisit ini harusnya bisa selesai di tingkat kementerian.

Persisnya ungkapan Pak Presiden Jokowi dalam forum kongres tersebut adalah “Mestinya sudah rampung lah di (tingkat) Menkes, di dirut BPJS. Urusan pembayaran utang RS sampai Presiden. Ini kebangetan sebetulnya. Kalau tahun depan masih diulang kebangetan,” tambahnya.

Mungkin Presiden lupa, tidak menyebutkan Menko PMK, Ibu Puan Maharani, karena sudah lebih dari 3 kali putaran rapat Menteri lingkup Kemenko PMK, soal defisit iuran BPJS Kesehatan dibicarakan.

Pak Jokowi mengatakan, sekitar sebulan lalu ia sudah memutuskan untuk menambah anggaran BPJS sebesar Rp 4,9 Triliun lewat APBN. Namun, dana talangan itu masih belum cukup untuk menutup defisit. Presiden mengaku heran dengan kondisi itu.

“Ini masih kurang lagi. ‘Pak masih kurang, kebutuhan bukan Rp 4,9 T’, lah kok enak banget ini, kalau kurang minta, kalau kurang minta,” kata Jokowi.

Ini masih ada sambungannya lagi, “Saya sering marahi Pak dirut BPJS, tapi dalam hati, saya enggak bisa keluarkan, ini manajemen negara sebesar kita enggak mudah. Artinya Dirut BPJS ngurus berapa ribu RS. Tapi sekali lagi, kalau membangun sistemnya benar, ini gampang,” kata Jokowi.

Ungkapan Presiden Jokowi dalam forum kongres kumpulan dokter dan pemilik RS,  tentu sangat telak bagi kedua pejabat publik tersebut.  Kedua mereka ini  ( dalam hatinya) merasa sudah bekerja keras mencari solusi penyelesaian defisit DJS (Dana Jaminan Sosial), BPJS Kesehatan, bersama dengan Menteri Keuangan dan Menko PMK.

Bahkan terpikir oleh saya, setelah membaca berita “kebangetan”  Pak Jokowi , jika saya yang menjadi Menkes atau Dirut BPJS Kesehatan, menghadap Presiden, mengembalikan Kepres pengangkatan saya sebagai Menkes atau Dirut, sambil berucap; ”Bapak Presiden, mohon maaf saya tidak bisa mencari dana untuk menutup defisit, tolong digantikan saja dengan pejabat lain yang mampu mencari sumber dana untuk mengatasinya”.

Dari pada menanggung malu didepan peserta kongres PERSI yang juga teman seprofesi. Tapi itukan jika boleh berandai-andai (Mohon maaf Bu Menkes dan Pak Dirut jika tidak berkenan).

Duduk Persoalan Sebenarnya

Kekhawatiran kita, ada misleading antara informasi atau laporan yang diterima Presiden dengan bagaimana kondisi real dilapangan. Dugaan misleading  dapat kita cermati dari sambutan Presiden Jokowi di PERSI.

Missleading pertama adalah menyebutkan bahwa  urusan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS), BPJS Kesehatan kenapa harus sampai ke Presiden. Inikan urusan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan.

Terjadinya defisit DJS BPJS Kesehatan utamanya (bukan satu-satunya) disebabkan besarnya iuran yang tidak sesuai dengan nilai ke-ekonomian. Intinya tidak balance antara besarnya iuran yang ditarik dari peserta PBI dan non  PBI dengan biaya pelayanan kesehatan yang dinikmati peserta JKN.

Kita kutip lengkap UU SJSN yang menyebutkan pada Pasal 27:

(1) Besarnya jaminan kesehatan untuk peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu, yang secara bertahap ditanggung bersama oleh pekerja dan pemberi kerja.
(2) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk peserta yang tidak menerima upah ditentukan berdasarkan nominal yang ditinjau secara berkala.
(3) Besarnya iuran jaminan kesehatan untuk penerima bantuan iuran ditentukan berdasarkan nominal yang ditetapkan secara berkala.
(4) Batas upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditinjau secara berkala.
(5) Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta batas upah sebagaimana pada ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden.

Jadi persoalan defisit solusi utamanya adalah menaikkan iuran baik PBI maupun Non PBI, sesuai dengan nilai keekonomian. Dan yang berwenang menetapkan besarnya iuran  adalah Presiden melalui Peraturan Presiden sesuai dengan perintah UU SJSN sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (5).

Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak ada wewenang untuk menentukan besarnya iuran peserta JKN. Kalau Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan tidak lapor Presiden tentang perlunya Presiden menerbitkan Perpres JKN terkait iuran (untuk mencegah defisit) maka kedua pejabat tersebut sudah melanggar UU SJSN.  Jadi Presiden memang harus turun tangan karena perintah undang-undang, bukan persoalan Menkes dan Dirut BPJS Kesehatannya lelet.

Persoalan defisit muter terus,  hakekatnya di kebijakan Presiden Jokowi yang tidak menaikkan iuran JKN tiga tahun terakhir ini. Apa buktinya. Kita lihat Perpres Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 12  Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Pasal 16A Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 19.225,00.- (sembilan belas ribu dua ratus dua puluh lima rupiah) per orang per bulan. DJSN waktu itu mengusulkan Rp. 27.000.- tapi Menkeu (Pak Agus Marto) keberatan.

Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja atau disebut juga non PBI:

a. sebesar Rp 25.500,00.- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. sebesar Rp 42.500,00 (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
c. sebesar Rp 59.500,00 (lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

Tiga tahun berikutnya, tahun 2016, di terbitkan Perpres  JKN 19 tahun 2016. Sebagai perubahan kedua atas  Perpres Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan.

Pada  Pasal 16A Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 23.000,- (dua puluh tiga ribu rupiah) per orarlg per bulan. Ketentuan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016.

DJSN waktu itu mengusulkan  sesuai dengan hasil kajian sebesar Rp. 36.000.- Menkeu juga keberatan. Berarti setelah JKN berjalan 2 tahun (2014 – 2015)  iuran PBI naik  sebesar Rp. 3.775.- /OB. ( dari Rp. 19.225 menjadi Rp. 23.000/OB).  Idealnya kenaikannya Rp. 16.000.- Yaitu dari Rp. 19.225.- ke Rp. 36.000.

Pasal 16F Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan pekerja atau non PBI:

a. sebesar Rp 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. (ada kenaikan Rp. 4.500.-)
b. sebesar Rp 51.000,00 (lima puluh satu ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II (ada kenaikan Rp. 8.500.-)
c. sebesar Rp 80.000,00 (Delapan puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I (ada kenaikan Rp. 20.500). Ketentuan besaran Iuran Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 April 2016.

Sebelum diberlakukannya Perpres JKN Nomor 19 Tahun 2016, untuk  iuran non PBI per 1 April 2016, Pemerintah menerbitkan Perpres JKN Nomor 28 Tahun 2016  yang menganulir pasal terkait besaran non PBI untuk pelayanan ruang perawatan kelas III, yang semula  naik menjadi Rp. 30.000/OB, diturunkan kembali menjadi seperti semula Rp. 25.500.-/OB.

Yang paling mutakhir, Presiden menerbitkan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan, pada tanggal 18 September 2018.  Dalam Perpres terkait iuran baik PBI maupun non PBI tidak ada perobahan atau kenaikan iuran. Berarti selama 3 tahun terakhir Pemerintah tidak ada kebijakan untuk menaikkan iuran PBI maupun non PBI.

Terkait dengan iuran ini, ada dua hal yang mendasar:

Pertama adalah Pemerintah ( Menkeu)  dalam menetapkan besaran iuran yang dituangkan dalam Perpres tidak sesuai dengan hitungan dan besaran nilai keekonomian yang telah diusulkan oleh DJSN, sebagai lembaga negara yang  diamanatkan UU SJSN untiuk menghitung besaran iuran.
Kedua adalah 3 tahun berturut-turut besar iuran PBI dan non PBI tidak dinaikkan ( Perpres Jaminan Kesehatan mengamanatkan disesuaikan dalam setiap 2 tahun).

Disisi lain, Berbagai kebijakan efisiensi melalui 9 langkah bauran kebijakan (keputusan dalam Rakor Menko PMK),  yang harus dilakukan BPJS Kesehatan  tidak cukup “nendang” untuk mengurangi defisit.

Misleading berikutnya adalah, karena Presiden tidak ingin menaikkan iuran JKN, terjadilah defisit  dan untuk menambal defisit tersebut dalam Perpres 82 Tahun 2018 Tentang Jaminan Kesehatan sudah diatasi  dengan mengambil dari cukai rokok. Dalam hal ini adalah pajak dari cukai rokok sebesar 50% yang sebenarnya dialokasikan untuk pemerintah daerah.

Pak Presiden Jokowi sudah berbicara diberbagai kesempatan, bahwa Pemerintah telah  menambal defisit BPJS Kesehatan sebesar Rp. 4,9 tirliun.  Dan memang benar. Dananya sudah disalurkan. Menurut informasi dari BPJS Kesehatan dana tersebut sudah habis  dibagikan ke FKTL-FKTL.

Pertanyaannya. Berapa persisnya defisit DJS sampai tahun ini. BPJS Kesehatan menghitung angkanya Rp. 16,5 triliun. BPKP diturunkan untuk verifikasi. Didapatkan angkanya Rp. 10,98 triliun. Kalau Presiden memakai angka BPKP, seharusnya Pemerintah memberikan dana talangan DJS sebesar Rp. 10,98 triliun. Tetapi diberikan tidak sampai setengahnya yaitu Rp. 4,9 triliun.

Pertanyaan berikutnya kenapa Menkeu hanya mengeluarkan Rp.4,9 triliun. Mungkin saja sejumlah itu dana yang tersedia dari pajak cukai rokok yang diambil sebesar 75% dari 50% total pajak cukai rokok.  Kalau mau ditambal lagi kekurangannya, diambil dari mana? Yang mungkin dari cukai rokok langsung. Tetapi apa Menkeu berkenan?.

 Harapan kita, Bapak Presiden Jokowi  dapat memikirkan ulang atas istilah “kebangetan” yang dilabelkan kepada Ibu Menkes dan Dirut BPJS Kesehatan atas terjadinya  defisit DJS BPJS Kesehatan yang tidak sepenuhnya berada diwilayah wewenang mereka. Bahkan berada di wilayah wewenang Presiden Jokowi.

Semoga Bapak Presiden Jokowi membaca tulisan ini,  atau melalui siapa saja yang mempunyai akses langsung menyampaikannya.  Agar masyarakat luas, khususnya  peserta JKN dan insan RS (FKTL), mengetahui informasi yang utuh, dan tidak menjadi “bola liar”  yang digoreng oleh mereka-mereka yang tidak ingin negeri ini tenteram.

Cibubur, 18 Oktober 2018